BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Adu Ayam Jago
atau biasa disebut sabung ayam merupakan permainan rakyat dimana dua ayam jago saling di adukan.
Permainan ini merupakan perkelahian ayam jago yang memiliki taji dan terkadang
taji ayam jago ditambahkan serta terbuat dari logam yang runcing. Permainan sabung ayam pertama terjadi di india dan asia
kira-kira tahun 1400 sebelum masehi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sabung
ayam digambarkan sebagai jenis burung yang dipergunakan untuk mencegah gangguan
iblis di suatu wilayah tertentu. Dan ayam sabung sendiri dinggap suci oleh
agama mamu di India.Permainan Sabung Ayam di Nusantara
ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat, tetapi
merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun politik. Meskipun pemerintah
telah resmi melarang segala macam perjudian, namun keberadaannya masih ada,
bahkan upaya pemberantasannya tidak jarang mendapat perlawanan.
Permainan
sabung ayam di pulau jawa umumnya berasal dari cerita rakyat cindelaras yang
memiliki ayam sakti yang di undang oleh raja jenggala yang tak lain adalah
ayahnya sendiri. Sabung ayam juga menjadi sebuah
peristiwa politik pada masa lampau. Kisah kematian Prabu Anusapati dari
Singosari yang terbunuh saat menyaksikan sabung ayam. Kematian Prabu Anusapati
terjadi pada hari Budha Manis atau Rabu Legi ketika di kerajaan Singosari
sedang berlangsung keramaian di Istana Kerajaan salah satunya adalah
pertunjukan sabung ayam
Dan
di zaman yang modern ini banyak kita jumpai masih ada di sekitar kita tempat
sabung ayam dan perjudiannya khususnya
di desa wajak, tulungagug. Dimana di desa wajak permainan sabung ayam yang dulu
digelar dalam rangka upacara dan ritual
keagamaan, namun sekarang sudah berubah fungsi. Permainan yang mengandung unsur
kalah menang kerap dijadikan taruhan. Itu sebabnya sabung ayam masih diminati
masyarakat desa wajak khusunya. Mereka beranggapan bahwa sabung ayam tersebut
adalah warisan leluhur dan budaya serta harus dilestrikan. Menurut Redfield
(1982) Meskipun masyarakat desa telah mengalami perubahan dan
perkembangan serta evolusioner, namun kehidupan mereka masih terikat oleh
habitatnya, hal ini karena adanya nilai yang dapat mengikat mereka dan mereka
memliki sikap yang sangat menghargai nilai sosial yang berlaku serta kebiasaan
leluhur yang berlangsung hingga sekarang.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana asal mula
kebudayaan sabung ayam ?
2.
Bagaimana dampak
sabung ayam terhadap perilaku sosial masyarakat sekitar ?
3.
Bagaimana pengaruh
sabung ayam terhadap sikap remaja disekitar lokasi penyelengaraan ?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan asal
mula kebudayaan sabung ayam yang berlangsung hingga sekarang.
2.
Menjelaskan dampak
sabung ayam terhadap perilaku sosial masyarakat sekitar.
3.
Menjelaskan
pengaruhnya terhadap sikap remaja disekitat lokasi sabung ayam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Asal
Mula Kebudayaan Sabung Ayam
Permainan
Sabung Ayam di pulau Jawa berasal dari folklore (cerita rakyat) yang populer
diberbagai tempat di dunia, seperti perancis, kanada, muangthai, taiwan,
jepang, filipina serta indonesia sendiri. Diindonesia permainan sabung ayam
bermula dari cerita Cindelaras yang memiliki ayam sakti dan diundang
oleh raja Jenggala, Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras
diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras
kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka
setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras. Dua ekor ayam
itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras
berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai
mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. Akhirnya raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras
dan mengetahui bahwa Cindelaras tak lain adalah putranya sendiri yang lahir
dari permaisurinya yang terbuang akibat iri dengki sang selir.
Sabung ayam
juga menjadi sebuah peristiwa politik pada masa lampau. Kisah kematian Prabu
Anusapati dari Singosari yang terbunuh saat menyaksikan sabung ayam. Kematian
Prabu Anusapati terjadi pada hari Budha Manis atau Rabu Legi ketika di kerajaan
Singosari sedang berlangsung keramaian di Istana Kerajaan salah satunya adalah
pertunjukan sabung ayam. Peraturan yang berlaku adalah siapapun yang akan masuk
kedalam arena sabung ayam dilarang membawa senjata atau keris. Sebelum
Anusapati berangkat ke arena sabung ayam, Ken Dedes ibu Anusapati menasehati
anaknya agar jangan melepas keris pusaka yang dipakainya jika ingin menyaksikan
sabung ayam yang diselenggarakan di Istana, tetapi sesaat sabung ayam belum
dilakukan Anusapati terpaksa melepaskan kerisnya atas desakan Pranajaya dan
Tohjaya. Pada saat itu diarena terjadi kekacauan dan akhirnya peristiwa yang
dikuatirkan Ken Dedes terjadi dimana kekacauan tersebut merengut nyawa
Anusapati yang tergeletak mati diarena sabung ayam dibunuh adiknya Tohjaya
tertusuk keris pusakanya sendiri. Kemudian jenasah Anusapati dimakamkan di
Candi Penataran dan kejadian itu tetap dikenang orang, Anusapati adalah kakak
dari Tohjaya dengan ibu Ken Dedes dan bapak Tunggul Ametung sedangkan Tohjaya
adalah anak dari Ken Arok dengan Ken Umang itu memang diriwayatkan memiliki
kesukaan menyabung ayam. Memang dalam cerita rakyat terutama Ciung Wanara
mengisahkan bahwa keberuntungan dan perubahan nasib seseorang ditentukan oleh
kalah menangnya ayam di arena sabung ayam, begitu juga juga Anusapati bukan kalah dalam adu
ayam tetapi dalam permainan ini ia terbunuh. Anusapati
bukan kalah dalam adu ayam tetapi dalam permainan ini ia terbunuh.
Sedangkan
di Bali permainan sabung ayam disebut Tajen. Tajen
berasal-usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu
di Bali. Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana
agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya menggunakan binatang
kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan
lain. Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban
dipotong setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang sata
dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan
ayam dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai (telung
perahatan), yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Dan tradisi ini sudah lama
ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu
ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang bermula dari pelarian
orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200.
Dalam
kebudayaan Bugis sendiri sabung ayam merupakan kebudayaan telah melekat lama.
Menurut M Farid W Makkulau, Manu’(Bugis) atau Jangang
(Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan
masyarakat Bugis Makassar. Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa kultur bugis
kental dengan mitologi ayam. Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan
resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara
tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto
mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut.
Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan
segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua raja penguasa
semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan
pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna
merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana
Bone).
Kematian ayam
sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja
Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu.
Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa. Di lain
pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi
psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil yang terletak di
sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam
tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone
menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale,
Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
2.2 Dampak Sabung Ayam Terhadap Perilaku Sosial Masyarakat Sekitar
Pada era saat ini tidak jarang kita jumpai sabung ayam di berbagai tempat,
khususnya di desa wajak. Disana masih bisa kita jumpai sabung ayam. Dahulu di
desa wajak penyelenggaraan sabung ayam kerap kali berhubungan dengan ritual
keagamaan dan hajatan. Namun seiring bergantinya waktu bahwa kebudayaan
mempunyai sifat yang berubah dari satu saat ke saat lainnya dalam proses
penerusannya dari satu generasi ke generasi berikutnya tak selamanya sama.
Bahwa selanjutnya kebudayaan lama berbeda dengan kebudayaan yang baru. Bahwa
pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat sangatlah terlihat dan itu bisa
dilihat dengan berubahnya fungsional dari kebudayaan sabung ayam itu sendiri
yang dahulu sabung ayam dijadikan ritual. Pada masi kini fungsi sabung ayam tu
sendiri telah beralih fungsi.
. Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “budhayah” yang berarti hal-hal
yang bersangkutan dengan budi dan akal (Soerjono Soekanto,1990). Kita tahu
bahwa sabung ayam sendiri merupakan kebudayaan asli indonesia yang sudah
ratusan tahun bahkan keadaanya selalu diadakaan saat upacara keagamaan dan
ritual-ritual suci. Namun saat ini, Sabung ayam yang dalam pertandinganya selalu
ada yang mengalami menang dan kalah, dari hal itu masyarakat menggunakannya
sebagai hiburan bahkan perjudian. Seperti di desa wajak Keaadaan perjudian yang
penyelenggaraanya dibatasi oleh sejumlah ketentuan seperti harus dilakukan
dalam konteks upacara nyatanya belum bisa dilaksanakan semestinya, bahkan
keberadaanya semakin marak di area rumah warga yang mempunyai area luas dengan
hanya ditutup pagar seng melingkar untuk menghindari dari gerbekan pihak
berwajib.
Namun saat ini keberadaan perjudian sabung ayam kian marak bahkan dampak
dari sabung ayam tersebut terhadap masyarakat sosial sangat terasa ditambah
dalam prakteknya saat ini para anggota
masyarakat yang ikut serta dalam perjudian sabung ayam di desa wajak sendiri
telah mendirikan sebuah kelompok atau orgaisasi, serta keuntungan, dan suatu gengsi
membuat nya memiliki becking seorang aparat yang membuatnya disegani dan sulit
terlacak oleh pihak berwajib. Selain itu dampak yang ditimbulkan bagi
masyarakat lain sudah jelas yaitu mengganggu kestabilan masyarakat. Dimana
menurut Paul H. Lands, desa itu merupakan daerah yang mana didalamnya ditandai
dengan keakraban dan keramahtamahan serta kehidupan masyarakat dari bidang
pertanian.
Namun saat ini keberadaan desa tak jauh berbeda dengan perkotaan. Di desa
wajak yang banyak warganya hidup sebagai pengangguran ataupun wiraswasta
menjadi pemicu maraknya sabung ayam. Masyarakat yang tidak bekerja dan
cenderung menghabiskan waktu luang dengan hal hal yang negatif semacam itu.
Serta sabung ayam yang membutuhkan banyak ayam. Dimana dalam laga besar dan beberapa
ronde yang digelar pemain bisa menghabiskan puluhan ayam jago yang masing-
masing harganya tidak murah. Dan sudah
bisa ditebak dampak negatifnya. Keadaan
masyarakat yang banyak menganggur dan hobi bersabung ayam serta membutuhkan
banyak dana mau tak mau banyak anggota masyarakat yang melakukan
tindakan-tindakan kriminal seperti mencuri merampok atau sebagainya.
Seperti yang terjadi setahun yang lalu di desa wajak sendiri. Bahwa sebulan
tindak kriminal pencurian terjadi sebanyak 6 kali dan setelah pelakunya
berhasil ditangkap dan dimintai keterangan ternyata faktor yang mempengaruhi tindakan
tersebut adalah untuk kepentingan sabung ayam.
Sudah jelas bahwa disamping sabung ayam juga memiliki dampak positif melestarikan
budaya leluhur, Sabung ayam lebih banyak sekali menimbulkan dampak yang negatif
seperti yang dipaparkan diatas.
2.3 Pengaruh Sabung Ayam Terhadap Sikap Remaja Disekitar
Lokasi Penyelengaraan
Sikap menurut Rensis Likerzwart dan Charkes Osgoog (dalam Azwar,1998)
diartikan sebagai suatu bentuk atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap
suatu objek merupakan perasaan untuk
mendukung atau memihak serta perasaan yang tidak mendukung ata memihak. Secara
sederhana sikap diartikan seabagai respon terhadap stimulasi sosial yang telah
terkondisikan (Azwar,1998).
Dapat digambarkan bahwa sikap hidup masyarakat desa cenderung memiliki
perasaa mendukung atau memihak terhap kehidupan dan lingkungan hidupnya.
Menurut koentjoroningrat (1985) mentalitas dari masyarakat desa atau petani
mempunyai presepsi waktu yang terbatas. Irama waktu yang ditentukan oleh
cara-cara ada istiadat untuk memperhitungkan tahap-tahap aktivitas. Begitu juga
kehidupan para remaja di desa wajak yang lingkungan hidupnya berada pada
lingkaran sabung ayam. Dimana banyak sekali para remaja yang tidak melanjutkan
ke jenjang SMP maupun SMA. Mereka lebih berkeinginan bekerja dan menganggur,
menghabiskan seluruh waktu hanya bersantai dan terlibat dalam kegiatan sabung
ayam. Inilah pengaruh yang disebabkan dari kegiatan sabung ayam, yang telah
nyata mempengaruhi sikap dan pola pikir para remajanya. Dimana pola ikir
remajanya cenderung tertinggal dibandingkan daerah lainnya. Sikap yang lebih
memilih lingkungan sekitar dan ketertarikannya terhadap tanah kelahiran atapun
komunitas lokal, menganggap penting ikatan kekeluargaan atau kekerabatan dan
keluarga dijadikannya sebagai tumpuhan hidup tanpa pemikiran untuk maju.
Kebiasaan para remaja yang cenderung bergelut dengan lingkungan sekitar tanpa
sadar memberikan dampak negatif telah mengubah pola pikir para remaja tersebut.
Pengangguran merupakan hal yang biasa disandang oleh para remaja, mereka
beranggapak bahwa dari sabung ayam itulah bisa menghasilkan uang secara instan,
apabila mereka menang dalam pertandingan. Menurut Friedman (dalam Redfield,
1982) bahwa hidup yang baik tau apa yang dikatakan baik adalah merupakan nilai
yang diperoleh dari suatu lingkungan masyarakat. Dan di desa wajak sendiri
nyatanya lingkunganlah yang telah mendidik para remaja dengan hal- hal yang
negatif, bukan tak mungkin lagi bila tindak kriminal seperti pencurian dan
perampokan yang terjadi sebagian besar yang dilakukan oleh para remaja
dampaknya dari lngkungan sekitar yang selalu dan setia hari memberikan nilai-nilai
serta moral yang negatif.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Permainan
sabung ayam adalah permainan yang mengadu dua ekor ayam hingga salah satunya
dinyatakan menang. Baik lawannya mati atau si empunya ayam sudah mengaku kalah.
Sabung ayam bukan hanya sebagai permainan belaka, akan tetapi digunakan sebagai
penanda strata seseorang atau karna gengsi. Seperti di desa wajak permainan
sabung ayam yang dulu digunakan hanya untuk ritual dan hajatan sekarang berubah
sebagai ajang perjudian.
Dan
lingkungan semacam inilah yang mampu memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat sosial. Semua pola dan tingkah laku dipengarui oleh lingkungan
tersebut, serta tindak kriminal un mampu tercipta oleh lingkungan yang
memberikan dampak negatif tersebut.
Serta
dampak dari lingkungan sabung ayam tersebut tidak terluput mempengarui sikap
dan pola tingkah para remajanya. Serta angka pengangguran yang kian merebak
salah satu penyumbangnya adalah remaja yang tak mau melanjutkan sekolah dan
enggan bekerja. Mereka hanya mengandalkan lingkungan sabung ayam yang
memberikan keuntungan secara instan.
3.2 Saran
Yang
hendaknya peredaran kegiatan sabung ayam yang diadakan di desa wajak dibatasi,
yaitu hanya digelar dalam kegiatan hajatan saja kembali seperti dulu. Karena
kita tahu bahwa dampak dari sabung ayam itu sangatlah negatif dan terasa.
Sabung ayam telah mamu memberikan efek negatif ke berbagai kalangan. Kepada
masyarakat sosial bahwkan generasi muda yaitu para remaja yang hendaknya
memiliki cita-cita namun nyatanya mereka lebih nyaman dengan lingkungan yang
begitu membrikan efek negatif semacam itu.